
Palangka Raya, Rabu, 6 Maret 2024, pukul 17.00-18.00 WIB.
Muhammad Iqbal, M. Hum, sejarawan dan dosen dari Program Studi (Prodi) Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya menjadi narasumber talk show daring (live facebook) yang diadakan oleh Majalah INTISARI.
Thomas Tjahjo Widyasmoro, editor INTISARI, bertindak sebagai pemandu Talk Show dengan tema ”RAHASIA KOTA: BANJARMASIN DALAM KECAMUK PERANG KEMERDEKAAN” ini.
Sebagai informasi, INTISARI terbit perdana titimangsa 17 Agustus 1963. Lahirnya majalah ini menandai media pertama Kompas Gramedia. Kehadirannya telah mewarnai Indonesia, dan senantiasa menyala-nyala di lintas generasi.
Boleh dikata, majalah mungil ini merupakan salah satu majalah bersirkulasi nasional tertua di Indonesia. Pendirinya, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama, menginginkan aspek insani dalam pembahasannya. Kebetulan keduanya berlatar profesi sebagai guru dan punya minat yang sama, yakni sejarah.
Kiwari, setiap bulan INTISARI menyajikan pembahasan “Smart and Inspiring”. Sajian setiap edisinya dikemas bak edisi khusus yang bertumpu pada kisah sampul. Penelusurannya tentang biografi, histori, dan tradisi dalam sudut pandang minat insani.
Dalam 114 halaman, pembaca dapat menemukan kembali keasyikan sebagai manusia Indonesia sekaligus membangkitkan daya literasi Indonesia. Dalam upaya mengungkap kembali kejeniusan sejarah dan budaya Nusantara, INTISARI mengampanyekan #KitaDigdaya melalui media sosial.
Dalam Talk Show ”RAHASIA KOTA: BANJARMASIN DALAM KECAMUK PERANG KEMERDEKAAN” ini, Iqbal mendedahkan asal-usul dan dinamika berjalannya peristiwa Perjanjian Linggarjati.
Menurut Iqbal, Sejak 19 Agustus 1945, Kalimantan sudah punya gubernur versi Republik.
Presiden Sukarno mengangkat seorang bangsawan Banjar sekaligus kawan satu almamaternya, Pangeran Muhammad Noor. Namun di masa Revolusi 1945-1949, gubernur tidak bisa bekerja di posnya. Kalimantan dipenuhi pendukung Belanda.
Kekuatan pendukung Republik kala itu tak berdaya di sana. Untuk itu, pemuda-pemuda asal Kalimantan yang kebetulan ada di Jawa pun dikerahkan guna menegakkan eksistensi Republik di Kalimantan.
Hasan Basry salah satunya. Pemuda asal Kandangan ini agak lama belajar di pondok pesantren di Ponorogo. Pada pertengahan Oktober 1945 Hasan Basry meninggalkan Surabaya dengan misi membentuk organisasi gerilya di kampung halamannya.
Setelah Basry, terjadi penyusupan pemuda-pemuda Banjar lain ke Kalimantan Selatan. Mereka masuk lewat jalur laut yang memakan waktu dua bulan, karena patroli Belanda menjaga dengan ketat. Pemuda-pemuda itu di antaranya pernah dilatih Penjelidik Militer Chusus (PMC) pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Terbatasnya komunikasi membuat Hasan Basry tak tahu perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh militer Jawa.
Pada November 1946 milisi yang dibentuk Hasan Basry pun dijadikan Batalyon Rahasia Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan. Dengan pangkat Letnan Kolonel, Basry memimpin batalyonnya.
Basisnya di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan, ALRI divisi IV (A) mengurus semua kegiatan gerilya di wilayahnya. ALRI divisi (B) menangani Kalimantan Barat dan dipimpin oleh Dr Soedarso dan bermarkas di Pontianak.
Untuk Kalimantan Tengah, sepasukan payung MN1001 di bawah pimpinan Mayor Tjilik Riwoet diterjunkan pada tahun berikutnya, 17 Oktober 1947. Di Kalimantan Timur, semula di bawah komando R. Notosunardi—yang dilanjutkan Herman Runturambi dan Kasmani.
Pasca Oktober 1948, kelompok Basry diperkuat dengan kehadiran Gusti Abdurahman alias Gusti Aman, dan Pangeran Arya. Gusti Aman adalah organisator ulung dan Arya merupakan bekas kontraktor yang pernah membangun tangsi-tangsi tentara Belanda.
Gusti Aman penting perannya dalam menyatukan para pemimpin gerilyawan seperti Ladjida, Damanhuri, Aberani, juga Ibnu Hadjar.
Lebih dari seminggu setelah Persetujuan Roem-Royen, para pejuang itu mendirikan Pemerintah Militer Kalimantan Selatan. Proklamasi mereka rumuskan sejak 15 Mei 1949. H. Aberani Sulaiman, dibantu oleh Gt. Aman, Hasnan Basuki, Pangeran Arya, Budi Gawis, dan Romansie merumuskannya.
Naskah itu lalu diketik pada 03.00 pagi hari tanggal 16 Mei 1949 oleh Romansie. Setelah diperbanyak 10 lembar, naskah tersebut dibawa ke Hasan Basry yang berada di Ni’ih, Kandangan untuk ditandatangani.
Titimangsa 17 Mei 1949, tepat hari ini 70 tahun lalu, proklamasi itu dikumandangkan:
“Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya Pemerintah Gubernur Tentara dari ALRI melingkupi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia untuk memenuhi Proklamasi 17 Agustus 1945, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan. Tetap Merdeka!”
Hasan Basry bertindak sebagai gubernur militer. Kepala Stafnya, Kolonel Aberani, lalu menjadi kepala Departemen Tatapraja. Urusan Umum dipegang Hasan Basry. Pangeran Arya memimpin Departemen Keuangan dan Kemakmuran dan bekerja sangat tekun ketimbang yang lainnya. Pemerintahan militer itu bubar di bulan Oktober 1949.
“Pejuang-pejuang asal Divisi ALRI IV itu pun akhirnya tak punya kuasa lagi sebagai militer. Belakangan, Hasan Basry mencapai pangkat brigadir jenderal. Dia sempat berkarier di kesatuan TNI Lumbung Mangkurat bersama sebagian kawan-kawan seperjuangannya. Sebagian bekas anak buahnya banyak yang tak bisa masuk TNI dan memberontak bersama Ibnu Hajar,” pungkas Iqbal. Kalakian, untuk Majalah INTISARI edisi Maret 2024: “Jelang Akhir Revolusi” ini, Muhammad Iqbal sendiri menulis dua esai panjang berjudul “Dari Perundingan ke Persetujuan: Cerita dari Gedung Linggarjati” dan “Perang Kemerdekaan di Kalimantan Selaan, 1945-1949”.