Palangka Raya, Senin, 4 Maret 2024, pukul 17.00-18.00 WIB.
Muhammad Iqbal, M. Hum, sejarawan dan dosen dari Program Studi (Prodi) Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya menjadi narasumber talk show daring (live facebook) yang diadakan oleh Majalah INTISARI.
Thomas Tjahjo Widyasmoro, editor INTISARI, bertindak sebagai pemandu Talk Show dengan tema ”RAHASIA KOTA: CERITA DARI LINGGARJATI” ini.
Sebagai informasi, INTISARI terbit perdana titimangsa 17 Agustus 1963. Lahirnya majalah ini menandai media pertama Kompas Gramedia. Kehadirannya telah mewarnai Indonesia, dan senantiasa menyala-nyala di lintas generasi.
Boleh dikata, majalah mungil ini merupakan salah satu majalah bersirkulasi nasional tertua di Indonesia. Pendirinya, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama, menginginkan aspek insani dalam pembahasannya. Kebetulan keduanya berlatar profesi sebagai guru dan punya minat yang sama, yakni sejarah.
Kiwari, setiap bulan INTISARI menyajikan pembahasan “Smart and Inspiring”. Sajian setiap edisinya dikemas bak edisi khusus yang bertumpu pada kisah sampul. Penelusurannya tentang biografi, histori, dan tradisi dalam sudut pandang minat insani.
Dalam 114 halaman, pembaca dapat menemukan kembali keasyikan sebagai manusia Indonesia sekaligus membangkitkan daya literasi Indonesia. Dalam upaya mengungkap kembali kejeniusan sejarah dan budaya Nusantara, INTISARI mengampanyekan #KitaDigdaya melalui media sosial.
Dalam Talk Show ”RAHASIA KOTA: CERITA DARI LINGGARJATI” ini, Iqbal mendedahkan asal-usul dan dinamika berjalannya peristiwa Perjanjian Linggarjati.
Menurut Iqbal, Peristiwa Linggarjati merupakan perundingan politik Indonesia-Belanda yang berlangsung sebanyak 11 kali, mulai 22 Oktober 1946 sampai 16 November 1946. Perundingan I (22 Oktober 1946) sampai IV (3 November 1946) berlangsung di Jakarta. Perundingan V (11 November 1946) sampai VIII (13 November 1946) dilaksanakan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Perundingan IX (15 November 1946) sampai XI (16 November 1946) kembali berlangsung di Jakarta.
Perundingan bilateral Indonesia-Belanda ini tertutup bagi semua orang di luar delegasi atau petugas lain yang terlibat dan juga tertutup bagi media pers.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta dilibatkan justru pada saat perundingan di Kuningan.
Hasil perundingan Linggarjati diparaf oleh anggota kedua delegasi pada 15 November 1946, dan diratifikasi serta ditandatangani secara resmi di Istana Rijkswijk atau Istana Negara di Jakarta tanggal 25 Maret 1947.
Persetujuan Linggarjati ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa sebelumnya: rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya titimangsa 17 Agustus 1945.
Di lain pihak, Kerajaan Belanda yang menjajah Indonesia sebelum perang berusaha kembali dengan memanfaatkan Sekutu yang keluar sebagai pemenang Perang Dunia II.
Persetujuan Linggarjati ini kemudian disabot oleh kaum pejuang Republik Indonesia, karena mereka berpendapat bahwa kemerdekaan penuh tidak dapat dicapai melalui meja perundingan, melainkan hanya dapat diraih dalam kancah perjuangan.
Dari pihak Belanda, yang memegang kuasa ialah kaum legalis yang ingin menertibkan ‘unsur-unsur yang tidak patuh di dalam Republik Indonesia’.
Dengan penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Sukarno sebagai Presiden.
“Sejarah membuktikan, perjuangan diplomasi Indonesia merupakan ujung tombak penyelesaian dekolonisasi sekaligus melukiskan bahwa bangsa Indonesia yang bersatu mampu mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945”, ujar Iqbal.
Kalakian, untuk Majalah INTISARI edisi Maret 2024: “Jelang Akhir Revolusi” ini, Muhammad Iqbal sendiri menulis dua esai panjang berjudul “Dari Perundingan ke Persetujuan: Cerita dari Gedung Linggarjati” dan “Perang Kemerdekaan di Kalimantan Selaan, 1945-1949”. (Rekaman Talk Show ini dapat ditonton di https://www.facebook.com/share/v/nVBuAbFwJdDfNpiE/?mibextid=w8EBqM).